Jumat, 28 Februari 2014

Saya, Anda, Esensi, Bahagia....

Untuk pertama kalinya selama menulis saya akan menggunakan kata "saya" dan "Anda". Semenjak menyenangi esensi, sebenarnya saya tidak terlalu suka menggunakan kata "Anda" kecuali mungkin jika sedang dalam keadaan tertentu yang berkaitan dengan tingkat emosi. Maaf, bukan saya tidak menghormati Rosihan Anwar yang mungkin pada tahun 1958 bersusah payah menemukan kata "Anda" sebagai kata ganti orang kedua tunggal, tapi sejujurnya kata "kamu" lebih terkesan sangat dekat dan bersahabat seperti kebiasaan banyak orang di daerah Jawa Tengah terutama Solo atau Yogya dan sekitarnya yang biasa menggunakannya dalam keseharian.

Baiklah, nampaknya beberapa orang tidak peduli dengan sejarah kata "Anda" dan kenapa "Anda" ditulis dengan huruf kapital seperti kata "Sie" pada bahasa Jerman. Untuk tulisan ini saya akan menggunakan kata "saya" dan "Anda", itulah pengumuman sebenarnya.

Saya sangat tertarik dengan buku The Geography Of Bliss karya Eric Weiner. Saya sudah beberapa kali membacanya, kisah seorang penggerutu yang berkeliling dunia untuk mencari kebahagiaan. Kutipan dari Paul Theroux pada halaman awal buku itu membuat saya selalu terkesima. "Perjalanan itu bersifat pribadi. Kalaupun aku berjalan bersamamu, perjalananmu bukanlah perjalananku." Beberapa orang yang selalu menggantungkan hidupnya kepada orang lain sangatlah riskan dalam kasus ini. Bukankah setiap orang punya tujuan tertentu dalam hidupnya, dan setiap tujuan itu tak selalu sama dalam persepsi setiap kepala.

Sebelum melanjutkan membaca tulisan ini saya sarankan untuk membuka dulu pikiran kalian. Sastra dalam kepala saya berarti jamak, karena setiap kata dan kalimat akan memiliki arti yang luas. Saya sangat penasaran dan terkagum pada cerita teman saya tentang saudaranya yang kuliah di Jerman. Tentang tradisi membaca dan membawa buku setiap hari. Bahkan di dalam angkutan umum orang-orang Jerman mengisi waktunya dengan membaca buku. Bandingkan dengan Indonesia, terutama Jakarta, di dalam angkutan umum semua orang berlomba mendapatkan sinyal HSDPA untuk ritual bersama akun-akunnya. Di Indonesia, menurut perhitungan saya rata-rata mahasiswa membaca buku selama empat jam ketika waktu tersisa delapan belas jam lagi menuju ujian dimulai. Seperti kereta ekspres yang berjalan tengah malam, semua halaman dibaca tanpa peduli tanda baca yang ada. Bukan untuk mengerti, tapi hafal.

Kelebihan dan kekurangan kita sebagai orang Indonesia adalah "hafal". Bahkan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika dalam genggaman garuda pun yang seharusnya menjadi landasan idiil negara sudah seperti lirik lagu bahasa asing, hafal dan tapi tidak mengerti. Saya masih ingat teman saya tertawa terbahak-bahak di dalam kelas ketika saya berkata bahwa sila ketiga adalah Indonesia kompak. Kenapa kata-kata sederhana yang mudah dimengerti selalu dianggap lelucon oleh bangsa kita. Beberapa orang mungkin menganggap Gus Dur sedang guyon ketika mengatakan "DPR kok seperti anak TK." Untuk sebagian orang itu mungkin sekedar lelucon, tapi sebagian yang berpikir itu adalah kritik pedas. Mungkin karena durasi membaca yang kurang atau karena materi yang kita baca adalah hal yang selalu kita inginkan, maka setiap hal harus berjalan sesuai dengan apa yang kita kehendaki. Saya rasa faktor itu yang membuat kebanyakan dari kita terlambat dalam hal mengembangkan pola pikir

Kembali ke buku The Geography Of Bliss, saya sangat menyukai buku itu, terutama pada bab Qatar. Bagaimana seorang Eric Weiner menulis beberapa kajian tentang Islam dengan sangat berani, jika melihat bahwa dirinya bukanlah seorang muslim. Bahkan keberaniannya menganggap keliru Jean-Paul Sartre seorang eksistensialis Perancis perlu diacungi jempol. Beberapa dialognya dengan orang-orang Al-Jaziira sangatlah saya sukai. "Jika Anda ingin mengetahui kebahagiaan sejati, Anda harus menjadi seorang muslim. Anda hendaknya percaya dan tahu bahwa segala sesuatu berada di tangan Tuhan. Anda akan mendapatkan apa yang Allah telah tuliskan untuk Anda. Ya, Anda harus menjadi seorang muslim jika Anda ingin mengetahui kebahagiaan." Bagaimana pun kebahagian memang sangat berkaitan erat dengan kepercayaan. Dalam agama saya, saya diperintahkan untuk berusaha mengubah nasib saya sendiri. Saya juga diperintahkan untuk tetap bersyukur kepada Allah dengan apa yang saya punya dan saya dapatkan. Mungkin salah satu sebab kita kurang merasa bahagia adalah karena kurang bersyukur. Di Jakarta tempat saya menempuh pendidikan strata satu, semua hal belangsung layaknya seperti kompetisi. Setiap hari orang-orang selalu berubah dan berkeinginan menjadi seorang pemenang dimulai dari bangun tidur sampai kembali tidur. Rasa syukur jadi berkurang, yang bertambah malah strategi-strategi yang kurang waras. Kompetisi itu baik untuk meningkatkan kualitas hidup, bahakan Tuhan menganjurkan kita untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Tapi kompetisi yang terjadi di Jakarta sangatlah tidak baik dan kebanyakan bukan dalam kebaikan, hasilnya adalah kesenjangan sosial bagi kebanyakan orang. Menurut sangkaan saya, orang yang berada di Jakarta adalah orang-orang salah kaprah, bahkan banyak yang posisi otaknya salah.

Tadi siang saya dapat telepon dari nomor yang saya tidak tahu asalnya. Kemarin saya memang membuat janji dengan salah satu receptionist di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, tapi sayang panggilannya tak terjawab. Tepat sebelum paragraf ini dibuat saya menelepon balik nomor itu, dan berbincang dengan salah satu orang yang saya sangat kenal suaranya, itu adalah suara wanita. Saya berani bertaruh itu adalah suara wanita. Baiklah sekarang saya akan menunggu lagi kabar apakah saya resmi diterima atau tidak magang di lembaga tersebut, karena gara-gara saya tidak menjawab panggilan tersebut akhirnya saya dijadikan pertimbangan olehnya.












Kita tidak bisa menyamakn kopi dengan air tebu. Sesempurna apa pun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan - Dee, Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade










Thanks for reading... 

Selasa, 25 Februari 2014

Tabungan Kata Semalam

Untuk Uteh


Jadi setelah perjalanan kemarin semuanya jadi serba tak biasa. Biasanya kita sering berpanjang lebar lewat telepon genggam, tapi sekarang jadi singkat - singkat saja. Aku jadi mengejar dan mencari tahu kesalahan yang tidak aku tahu. Barangkali memang aku yang bersalah, jadi aku coba cari - cari tahu dimana letak kesalahanku. Setiap malam jadi seperti orang linglung saja kerjaku. Kadang aku terbaring di atas kasur dan bertatap mata dengan langit - langit kamar yang dihuni oleh segerombolan tikus - tikus sialan. Sesekali aku merusak acara gerombolan tikus yang mungkin sedang arisan keluarga tepat di atas kepalaku dengan stick golf nomor sembilan yang ada di kamar. Aku juga sering bolak - balik akunmu untuk sekedar mencari tahu kenapa dan apa yang terjadi.

Sekarang aku membongkar tumpukan - tumpukan gelisah dalam almari yang beberapa hari sangat berantakan isinya. Kini yang tersisa hanya kata - kata kemarin malam yang aku tabung bersama tumpukan abu di dalam asbak. Di dalam kata - kata itu ada aku. Sekumpulan aku yang lupa mengantuk dan tak ingat waktu. Waktu di dalam kamarku sudah lama mati kehabisan energi, jarum pendeknya berlaga gagah mengarah ke angka dua belas dan jarum panjangnya bergelayut diangka dua. Kalau lupa waktu aku sering menunggu adzan dari mesjid - mesjid di dekat rumah, jadi aku tahu sekarang sudah jam berapa. Waktu terasa semakin singkat saja jadinya ketika adzan sudah berkumandang.

Tapi yang terasa singkat bukan hanya waktu saja yang baru diajak melamun sebentar sudah terdengar adzan lagi. Kata - kata darimu juga semakin singkat saja jadinya, padahal aku punya banyak kata untukmu. Mungkin kata - kata yang pernah aku tabung akan aku jadikan deposito saja. Biasanya deposito menawarkan bunga yang menggiurkan untuk si nasabah. Kalau bunganya sudah banyak dan indah nanti aku rangkai jadi seikat puisi untukmu.

Kalau malam tiba yang sering melamun bukan cuma aku saja, ternyata telepon genggamku pun sekarang jadi hobi melamun. Biasanya telepon genggamku bawel dan teriak - teriak kalau ada pesan darimu, seperti bayi tiga bulan, maunya di manja dan ditekan - tekan lembut bagian hidungnya. Aku takut telepon genggamku tiba - tiba kesurupan, soalnya kalau melamun suka disembarang tempat dan kadang susah dicari gara - gara tak pernah mengeluarkan suara.

Laptop-ku kalau malam sering usil dan juga sering bercanda mengikuti candaan puisi Pemulung Kecil karya Joko Pinurbo: "Jaman sudah susah begini siapa suruh jadi penyair? Sudah hampir pagi masih juga sibuk melamun. Lebih enak jadi teman penyair." Memang yang paling enak jadi teman penyair, tinggal baca saja, tak perlu sibuk memungut - mungut kata. Aku bilang kalau aku tak hanya memungut kata, aku juga menanam kata dalam tubuhku, jadi setiap kata adalah aku. Aku butuh pupuk untuk terus bersemi, agar tak ranggas dimakan waktu.

Waktu sudah termanggut - manggut karena menahan kantuk, aku kira waktu setuju dengan tulisanku ini, tahu - tahu waktu lelah aku ajak begadang. Padahal untuk menulis ini aku harus menyentuh peluh yang mulai membiru. Bintang - gemintang satu persatu gugur dari atap langit, karena tak sanggup lagi menggantung saat fajar dan embun menyapa pagi. Akhirnya aku kuras sisa keringat dari hati yang mondar - mandir dalam lamunan malam dengan ayat - ayat Al-qur'an.








Cinta itu indah,.........., terlalu indah, yang bisa didapat dalam hidup manusia yang pendek ini (Pramaoedya Ananta Toer - Bumi Manusia)











Con Amor
Thanks for reading... 

Senin, 24 Februari 2014

Ujian Kenaikan Pangkat

Kalau kita sudah menjalankan kewajiban sebagai umat islam dan dilengkapi dengan sunah - sunah yang dianjurkan tetapi hidup kita masih terasa serba kurang, syukurillah, karena Allah sedang memberikan ujian kepada kita. Ujian untuk kenaikan pangkat. Kalau tak lulus dalam ujian bagaimana mau naik pangkat?

Ahh ujian, jadi ingat semasa sekolah ketika dulu ujian negara untuk mendapat selembar ijazah yang sampai sekarang belum pasti fungsinya untuk apa. Dijadikan pajangan pun tak indah dipandang, walau dilengkapi dengan figura harga ratusan ribu, foto 3 x 4 yang menempel dibagian bawah ijazah itu tak akan berubah. Tetaplah berwajah culun.

Waktu itu ujian negara hanya terdiri dari paket A dan B. Konon kabarnya untuk membatasi penyakit mencontek yang sudah turun temurun dan beranak binak dari nenek moyang dulu sampai sekarang. Ehh namanya juga Indonesia dengan segala beragam keunikannya, mau dibagi paket soal menjadi dua bagian pun tetap saja mencontek bisa dilakukan. Nah, belakangan aku dengar kabar ujian negara tahun kemarin sudah menjadi dua puluh empat paket. Aku cekikikan saja dengar kabar itu, mau paket di bagi menjadi lima puluh pun, Indonesia ya Indonesia Saja. Coba bayangkan lagi oleh kalian yang sudah merasakan ujian dengan berbagai macam paket itu, mencontek ya mencontek saja, bagaimana pun cara dan jalannya.

Penguji yang paling baik itu tetap cuma Gusti Allah. Setiap kepala diberikan paket yang berbeda dalam ujiannya. Ada yang diberikan ujian paket kekurangan uang, penyakit, fitnah, bencana alam, mati lampu, signal gprs, bbm pending, sms tak dibalas, telepon tak dijawab, ban bocor, kehabisan bensin, kehujanan, aih masih banyak lagi. Apa yang diuji paket fitnah bisa mencontek dengan orang yang diuji dengan paket kekurangan uang? Tak bisa mencontekkan? Karena setiap manusia diciptakan dan dibekali dengan nasib dan takdir yang tak bisa diperkirakan. Pun diuji dengan cara yang berbeda - beda sesuai kadar keimanannya.Yang miskin makan ikan asin dan semur jengkol kalau sakit bisa sembuh dengan dikerik, tapi yang setiap hari makan makanan merk luar negeri dengan jaminan kelangkapan gizi harus berobat jauh - jauh ke luar negeri seperti Singapura, pulang ke Indonesia mati.

Jadi kalau mau naik pangkat, kita harus sama - sama bisa ikhlas dan tawakal menghadapinya. Allah kasih ujian juga untuk kebaikan diri kita, bukan untuk orang lain. Kan masing - masing juga sudah dipertanggung jawabkan setiap rezekinya sama Allah. Kalau miskin dan tiap hari cuma bisa adu mulut sama sayur asem cobalah untuk bersyukur. Paling kena penyakit mencret - mencret gara - gara sayur asemnya kebanyakan asem, tak akan kena gagal ginjal kok. Kalau sekarang merasa miskin di dunia berdoalah untuk kayak di akhirat, di surga apa saja ada.

Tapi ujian kenaikan pangkat itu cuma untuk orang - orang yang beriman dan bertaqwa. Kalau hidup semerawut itu namanya bukan ujian, tapi siksaan. Kalau sudah disiksa di dunia kita baiknya cepat - cepat betaubat, takut nanti keburu mati. Memangnya rela dipalu sama malaikat diliang kubur? Menurut hikayah, palu yang digunakan untuk menyiksa itu beratnya tak akan bisa diangkat oleh seluruh manusia yang pernah hidup di dunia.

Ehh, aku bukan sok menggurui loh, ini cuma sharing aja. Wong materi ini aja aku dapat waktu silaturahmi ke Padepokan Zafar Arif 286, Bogor. Untuk sekedar berbagi saja aku tulis ini, barangkali bisa jadi penambah pengetahuan untuk kalian yang mau dibagi.






...soalnya memang kertas - kertas yang bisa lebih dipercaya. Lebih bisa dipercaya daripada mulut penulisnya sendiri (Rumah Kaca - Pramoedya Ananta Toer)












Thanks for reading... 

Sabtu, 22 Februari 2014

Kuburan Kenangan

Ahh dasar tamu tak tahu malu, baru mau ditinggal sebentar sudah asik nongkrong di depan komputer. Ahh dasar tamu, suka bikin repot yang punya rumah. Jauh - jauh datang dari perbatasan Bogor - Bekasi cuma mau numpang merepotkan. Sudah bagus bisa belajar dan dapat ilmu di Padepokan, tapi masih mau lebih. Ahh dasar tamu.

Dulu semasa aku masih jadi santri di Pesantren Sirojul Huda, Padepokan ini adalah tempat aku sembunyi-sembunyi untuk merokok dan minum kopi. Dulu tempat ini masih belum jadi sebuah padepokan, aku bolos sekolah pun tidur di dalam salah satu ruangan di Padepokan ini. Entahlah, aku tak layak juga disebut santri, pesantren hanya tujuh bulan, maka aku malu menyebut diriku santri atau pun bekas santri. Wong selama di pesantren sudah seperti orang numpang tidur dan makan saja kerjaku. Jauh - jauh merantau sudah seperti turis lokal saja jadinya, alhasil ilmu yang di dapat pun seadanya saja. Jadi kenangan selama aku tinggal di pesantren kurang lebih seperti itu.

Ahh kenangan, sebelum aku ditinggal pemilik padepokan aku masih sempat - sempatnya membantu dia melipat kenangan. Kenangan tentang dia dan mantan kekasihnya, bukan kenanganku selama tinggal di pesantren. Namanya juga kenangan, yak untuk dikenang, bukan untuk disimpan. Jika ada bank yang menerima penyimpanan kenangan, mungkin bank itu akan menjadi bank dengan nasabah terbanyak sejagat raya.

Aku jadi mengingat kenangan kemarin sewaktu menyambangi Fujitsu Service Center. Sesampainya disana pas waktu dzuhur tiba. Allah sudah meminta hamba - hambanya menghadap lewat kumandang merdu adzan suara Billal. Apa hendak dikata, kewajiban untuk menghadap Allah harus segala dilaksanakan sebelum nanti tahu - tahu diminta segera pulang. Beruntung di tower yang menjulang tinggi itu masih ada mushola, jadi tak perlu repot - repot cari mushola atau mesjid. Walaupun keberadaannya tersudutkan dan berada di sebuah basement. Datang berdua dengan seorang wanita yang rela kesasar berkali - kali dan jadi seorang navigator dengan petunjuk peta digital pada sebuah gadget. Beginilah kehidupan yang aku jalani, di mana pun dan bersama siapa pun, aku tetaplah seorang anak udik. Jakarta yang hanya sebesar kotak korek api di peta NKRI semasa aku SD mampu dengan gagah mempecundangi diriku.

Di depan muka basement aku sempat linglung, kok yang dari tadi lalu lalang cuma kaum lelaki. Padahal ada juga mushola wanita disana. Ealah, tahunya toilet dan tempat wudhu wanita terkunci, mungkin itu salah satu sebabnya tak ada wanita yang mondar - mandir disekitar basement ini. Lah terus wanita yang dari tadi bersamaku ini mau wudhu di mana? Kepalaku jadi mendadak bingung. Aku menghampiri pos security dan bertanya untuk mendapatkan solusi dari permasalahan ini. Karena kepepet jadi cuma bisa wudhu di tempat lelaki. Akhirnya salah satu orang di pos security mengantar dan menunggu di pintu tempat wudhu untuk menunggu wanita yang dari tadi bersamaku berwudhu. Aku juga ikut menunggu, sampai wudhu selesai aku masih menunggu, sampai ia selesai sholat.

Wanita itu sempat bingung mau wudhu di tempat wudhu kaum lelaki karena dia bilang harus buka kerudung. Padahal sudah aku bilang kalau boleh mencuci rambut hanya sehelai saja, aku waktu dulu di pesantren pernah mendengar Kyai-ku berkata seperti itu ketika ngaji bab wudhu di kitab yang aku lupa namanya. Entahlah bagaimana tadi dia berwudhu, tahu - tahu sudah selesai, aku tak melihat, aku tak juga punya hobi ngintip.

Tadi ketika sampai di Padepokan dan mulai ngaji aku coba - coba berani bertanya kepada salah satu guruku. Takut nanti aku salah dengar tentang wudhu yang boleh hanya mencuci sehelai rambut saja. Beliau berkata bahwa benar memang boleh mencuci rambut hanya sehelai saja dan dibagian mana saja, tapi kalau bisa, kalau sedang dalam keadaan terpaksa saja dilaksanakannya. Bahkan wudhu pun boleh dicicil, maksudnya, jika seandainya berwudhu hanya sampai muka di suatu tempat masih bisa dilanjutkan di tempat lain sisanya sampai tertib. Itu pun jika belum batal cicilan wudhu yang sebelumnya. Nah kan, Allah tak pernah merepotkan hamba - hambaNya yang hendak beribadah.

Ealah yang punya padepokan sudah mau bergegas berangkat ke pasar. Ini aku berikan kenangan yang tadi aku bantu lipat - lipat. Sebelum dia menuruni tangga padepokan aku ucapkan "selamat mengubur kenangan". Matanya berkaca - kaca, semoga lekas dia kubur lipatan - lipatan kenangan dalam taman pemakaman hatinya. Jadi kalau nanti mau mengenang lagi tak usah repot - repot cari kemana - mana, tinggal gali saja kuburannya.












Thanks for reading....

Rabu, 12 Februari 2014

Ujug-Ujug

Aku pernah membaca tulisan bahwa semua yang terjadi di dunia ini bukan karena ujug-ujug. Aku meyakini itu dengan segenap hati, karena Allah pemilik Arsy yang Maha Agung sudah menuliskannya di Lauhul Mahfuzh.

Ahh ujug-ujug, tak pernah terpikir sebelumnya akan menggunakan kosa kata itu. Aku tak bermaksud mempersulit untuk memahami kosa kata, tapi untuk yang, memang, belum mengetahuinya silahkan mencari tahu maknanya sebagai penambah kekayaan kosa kata.

Mari kita sudahi dengan hikmat epilog ujug-ujug ini dengan Kopi Giling Tirta 21. Aku sedang tidak menikmati secangkir kopi saat ini. Itu adalah papan nama sebuah kios yang aku dapati di pasar waktu mengantar ibu berbelanja dagangan warung. Aku menunggu ibu yang sedang berkeliling pasar, di sebuah kios tukang cabai dan bawang. Kedua bahan pokok yang digunakan dalam memasak dengan harga yang sangat labil belakangan ini. tiba-tiba harganya bisa melonjak tajam seperti termostat yang ditempel pada ketiak orang sakit demam yang tak kunjung reda selama tiga hari berturut-turut, dan belum mandi selama satu minggu. Tapi seketika tanpa diduga-duga terjun bebas seperti indeks prestasi semester tiga yang pernah aku dapatkan.

Di sebelah kiri kios tempat aku menunggu, ada papan nama Kopi Giling Tirta 21. Sebenarnya bukan papan nama itu yang menjadi perhatianku, tapi wanita yang sedang asik cemberut sambil bermain telepon genggam tepat di bawah papan nama itu. Tuhan memang penghibur yang ulung, di tengah bau campur aduk pasar dari setiap sudut, masih ada satu pemandangan yang tak pernah terlintas dalam sangkaan kepalaku. Beberapa menit kemudian pandanganku teralihkan pada tulisan di baju oblong seorang perempuan yang sedang menawar pete tepat di depan wajahku. "Dear, don't to angry, I don't meant to hurt you." Aku jadi senyum-senyum sendiri dengan takdir yang baru saja aku jalani.

Tepat dari belakangku terdengar suara lagu dangdut, sangat jelas, aku tahu judul lagu itu, Malam Terakhir karya Rhoma Irama si raja dangdut yang katanya tahun ini mau mencalonkan diri jadi Presiden RI periode 2014-2019. Satu blok di depanku ada kios tukang parut kelapa dengan mesin diesel yang bergemuruh sangat kasar. Suaranya lambang semangat pantang menyerah seorang lelaki untuk menafkahi anak dan istri. Disebelah kios tukang parut kelapa itu, entahlah, aku tak tahu kios apa. Penjaganya seorang remaja lelaki dengan baju oblong bersablon serigala dan bertuliskan ' Indonesia Hardcore' pada bagian depan, sedangkan sablon bagian belakangnya bertuliskan kalimat bahasa inggris, yang entah dimengerti atau tidak olehnya, Born to bleed, fighting to success. Lagu dangdut yang tadi sekarang sudah berubah jadi lagu yang aku tak tahu judulnya, tapi jika tak keliru, salah satu penggalan liriknya aku masih ingat, jugijagijugijagijug kereta berangkat, jugijagijugijagijug hatiku gembira. Lagu itu sekarang bercampur dengan suara mesin diesel yang ketukannya seperti double pedal pada lagu System Of A Down-B.Y.O.B. Mungkin seharusnya musik Hardcore di Indonesia memang harus mengawinkan gamelan dan double pedal, sehingga punya identitas sendiri di dalam aliran musik hardcore, seperti layaknya Slipknot menggunakan percussion instruments. Aih, aku jadi ingat lagu dangdut Malem Jum'at Kliwon yang dikawinkan dengan video klip Slipknot, atau biasa disebut dubbing.

Papan nama Kopi Giling Tirta 21 Sudah tak berpenghuni lagi, gadis yang tadi asik cemberut sambil memainkan telepon genggamnya entah pergi kemana tanpa meninggalkan salam. Aku termenung sendiri di kios tukang cabai. Ibu belum datang juga, rokok milikku sudah habis, mulutku menagih candu itu. Dasar anak nakal, belanjaan warung rokok ibu aku bongkar, aku buka satu bungkus Dji Sam Soe yang ada di dalamnya. Yang penting mulut berasap, urusan ibu ngomel atau tidak, bukan prioritas utama saat ini. Ealah, lagi asik merokok ibu datang bawa belanjang berkantung-kantung, katanya belanjanya sudah selesai. Ibu tanya nanti siang aku mau makan sama lauk apa. Aku bingung mau lauk apa, aku pilih lauk kesukaanku, sayur kacang tanah dan ikan asin besar dengan penampilan terbelah dua. Ehh kata ibu kacang tanahnya gak ada yang bagus, dia ganti beli kacang polong, ikan asinnya beli yang kecil.

Aku dan ibu bergegas pulang, meninggalkan kios tukang cabai, meninggalkan lagu dangdut yang entah sekarang sudah ganti lagu yang keberapa, dan suara mesin diesel yang sangat semangat memarut kelapa. Matahari melotot, membubarkan awan-awan sendu musim penghujan. Aku kelabakan bawa motor dengan banyak barang belanjaan. Ibu ujug-ujug ngomel sepanjang jalan, bukan karena rokonya untuk jualan di warung aku hisap, tapi karena ikatan sepuluh tumpuk kue bolu yang ia beli untuk kondangan kendur. Tukang bolunya tak ada, aku jadi pengganti tukang bolu mendengar ibu ngomel.








Thanks for reading...

Minggu, 02 Februari 2014

Lelaki

Lelaki yang dulu tak gemar dipotret itu sedang bingung mencari senyum di depan tustel.
Padahal senyumnya melekat di bibir, tak lebih tiga sentimeter dari matanya, tapi tak terlihat.

Lelaki yang dulu perfectionist itu sekarang sibuk mencari baju rombeng.
Habis sudah isi lemari yang dulu berisi tekukan rapi baju-baju warna hitam dan putih,

Lelaki yang dulu tak suka kopi itu sedang asik meneguk secangkir kopi dengan penuh nafsu.
Ia ingat pesan ibunya, "jangan suka minum kopi, nanti bebal!"
Lelaki itu sudah bebal, pesan ibunya bahkan dianggap seperti kicauan orang-orang galau.

Lelaki yang dulu membenci asap rokok itu sedang mondar-mandir mencari korek api.
Ia hendak menyulut sebatang rokok yang antre dari pagi di dalam sakunya.

Lelaki yang dulu pendiam itu sekarang banyak bicara.
Bualan dan umpatan kasar sering terlempar dari mulutnya.

Lelaki yang dulu dianggap tekun itu sekarang sudah culas.
Bahkan sebagian tetangganya sering membicarakannya setiap kali ia melintas pelataran rumah mereka.

Lelaki yang dulu malu-malu itu sekarang sudah tak tahu malu.
Entah kenapa, tapi katanya ia masih punya kemaluan.

Lelaki yang waktu kecil sering dengar lagu bahasa inggris dari saluran radio gelombang SW itu sekarang sibuk belajar bahasa inggris.
Katanya globalisasi menuntut kemampuan bahasa global, padahal melafal huruf 'F' saja masih terbata-bata.
Uhh malaikat tak bertanya menggunakan bahasa inggris di dalam liang kubur, tak akan sudi!

Lelaki yang sejak kecil belajar menulis puisi itu sekarang sedang bersajak.
Bersajak tentang kisah seorang lelaki.
Lelaki itu adalah ia yang sedang merenungi dirinya sendiri.

Lelaki itu sekarang bingung, bingung meneruskan sajaknya.
Aku minta ia berhenti, takut nanti keburu mati, mati kata.









Thanks for reading...

Sabtu, 01 Februari 2014

Seandainya Bisa, Aku Ingin Menjadi Secangkir Kopi Saja

Seandainya bisa, aku ingin menjadi secangkir kopi saja.
Yang katanya sebagai bentuk penghargaan sederhana. Diciptakan untuk semua golongan: muda, dewasa, tua, kaya, miskin, melarat, Kyai, santri, karyawan, komisaris, manusia, dan khodam. Tak pernah pilih-pilih ada dimana dan bersama siapa, takdir dari Tuhan adalah sesuatu yang mutlak untuk ditaati.

Seandainya bisa, aku ingin menjadi secangkir kopi saja.
Hadir disembarang waktu, entah di pagi yang riuh-riuh minta sesuatu yang hangat, atau siang dengan terik yang kadang tak bersahabat. Kadang pada malam hari untuk teman menunggu lagi sang pagi. Waktu jadi sesuatu yang bisa dinikmati.

Seandainya bisa, aku ingin menjadi secangkir kopi saja.
Yang tersaji disembarang meja. Tak peduli di hotel bintang lima dengan fasilitas super lengkap dan sempurna, atau di atas meja sebuah rumah yang temboknya hanya dari bilik bambu dan atap yang selalu menangis tersedu sedan karena tak sanggup menahan derasnya hujan yang berbondong-bondong hendak bertamu. Tetap ada, selalu tersaji dengan hangat tanpa banyak protes.

Seandainya bisa, aku ingin menjadi secangkir kopi saja.
Bersama pekikan kebahagiaan sederhana milik orang-orang yang duduk di warung pinggir jalan, dan pengapnya asap rokok yang lalu lalang keluar masuk mulut seseorang yang sering dianggap sampah oleh orang-orang yang hidupnya tak kenal susah, tapi sulit berteman dengan kebahagiaan.

Seandainya bisa, aku ingin menjadi secangkir kopi saja.
Menemani remaja yang menebak-nebak masa depannya. Menemani seorang bapak yang bingung karena bayaran SPP anaknya nunggak tiga bulan. Menemani preman yang sedang menghitung dosa dan hendak bertaubat. Menemani seseorang yang menghitung-hitung sisa usianya setelah divonis oleh dokter yang berlaga seperti Ijroil. Menemani ulama yang mengajar ngaji di mesjid-mesjid dengan santri-santrinya. Menemani tukang becak yang malu pulang karena belum dapat uang untuk belanja besok. Menemani para penulis merangkai karya-karyanya.

Seandainya bisa, aku ingin menjadi secangkir kopi saja.
Tak pernah banyak tingkah ketika digenggam lembut oleh tangan wanita, atau dicekik kasar oleh tangan lelaki yang tak berperasaan. Tenang di dalam cangkir dengan segala bentuk dan rupa, dan tetap tersaji meski sendiri.

Seandainya bisa, aku ingin menjadi secangkir kopi saja.
Pahit atau manis tetap saja ada yang suka. Pekat atau encer semua tergantung selera. Tapi tetap bernama kopi, walau dicampur arang, susu, cokelat, mocca, atau topping jenis lainnya.

Seandainya bisa, aku ingin menjadi secangkir kopi saja.
Tapi katanya jadi diri sendiri selalu lebih baik, karena hidup terlalu singkat untuk menjadi orang lain. Tapi aku ingin menjadi secangkir kopi! Seandainya bisa... Atau jadilah seperti secangkir kopi dengan diri sendiri, mungkin itu lebih baik.













Thanks for reading...